Setiap manusia diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala lebih sempurna diantara makhluk lainnya. Manusia diberikan akal sebagai alat untuk mempertimbangkan kesalahan yang diperbuat dan menuntaskan kebenaran. Manusia juga dianugrahi nafsu. Setiap alunan dan gerakan yang dilakukan manusia selalu dikelilingi dengan akal dan nafsu. Nafsu ini diartikan hasrat atau keinginan yang harus tercapai. Jika tidak ada akal yang menyeimbangi maka manusia keluar dari hakikat diri manusianya.
Nah, sekarang yang sering kita jumpai ditengah-tengah masyarakat ialah memaafkan orang lain tidak lebih mudah dari meminta maaf. Sebab, meminta maaf terkadang timbul rasa malu dan sungkan juga rasa beratnya hati untuk mengalah. Perjalanan kehidupan terkadang membawa diri terperosok dan jatuh dalam berbagai kesulitan. Melakukan segala kesalahan sangatlah mudah, mengakui kesalahan itu lebih berat.
Realitanya, segala sifat dalam diri manusia timbul tanpa disadari seperti rasa kesal disaat orang tidak menghiraukan, rasa cemburu jika diri tidak diberikan perhatian dan kasih sayang, juga rasa egois yang hanya ingin dimiliki. Serta timbulnya sifat yang memang diri kita sendiri yang memulai seperti rasa sabar, yakni ketika kita dikucilkan dari orang lain, ketika kita diuji dengan kemarahan, ketika orang yang berbuat salah tapi kita yang memulai meminta maaf. Hal inilah yang terjadi pada generasi bangsa dan juga orangtua.
Pendidikan dari awal yaitu keluarga sangatlah diharapkan dalam membentuk pola perilaku dan tingkah laku generasi. Pertikaian dan keributan akan selalu menyelimuti kehidupan sosial maupun rumah tangga. Hal-hal yang dianggap sepele seperti sifat-sifat yang dijelaskan malah membuat diri terjerumus ke dalam jurang yang telah kita buat.
“Shalat adalah tiang agama, sabar adalah tiang hati, sifat diri adalah kunci tubuh, dan indra adalah penyatu raga dalam melakukan aktivitas.”
Maksudnya adalah untuk melakukan persiapan dalam menata kehidupan dengan pola jernih dan tenang, lakukanlah ibadah (termasuk shalat yang lebih utama), benahi diri dengan sifat sabar dan rendah hati, netralkan sifat yang mengunci diri kita dalam berbuat, serta imbangilah dan cernalah melalui indra diri kita. Telaah satu persatu indra kita.
Menahan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan. Maka pertikaian disebabkan kesalahpahaman tidak akan mengganggu tatanan hidup diri kita. Maka kenalilah diri kita sebaik mungkin, adapun orang yang mampu menilai secara tampak saja, tetapi tidak bisa mencerna apa yang kita rasa dan kita pikirkan. Dan berhentilah memedulikan apa yang orang lain pikirkan tentangmu.
Ada dua cermin dalam hidup yang mesti dipatri. Cermin pertama untuk melihat diri sendiri, betapa banyak kekurangan dalam diri. Cermin kedua untu melihat orang lain, betapa banyak kebaikannya bukan memikirkan kesalahan orang. Kadang sampai lupa, karena terlalu terpaku pada anggapan bahwa diri harus sama dengan orang lain. Tidak mau kalah tentang pencapaian yang didapatkan oleh orang lain.
Kamu tahu? Kita tidak sedang bersaing dengan siapapun. Kita juga tidak sedang dikalahkan atau mengalahkan. Maka, jika diperjalanan kehidupan ditemukan perbedaan-perbedaan, itu wajar dan biasa. Sebab Allah SWT berfirman dalam Qs. Al-Lail ayat 4: ”Bahwa sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda”.
Jadi bangunlah dari kelinglungan dalam diri kita. Hidup ini tidak perlu terburu-buru, nikmatilah prosesnya. Cukup mengakrabkan diri dengan melakukan apa yang dibisakan serta meniatkan setiap peran yang dijalani ini sebagai kesempatan untuk terus belajar dan mau berproses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar